Langsung ke konten utama

SALAM


1. Kapankah seseorang mengucapkan salam?

Dalam adab Islam jika seorang muslim berjumpa dengan muslim lainnya hendaklah dia mengucapkan salam. Yang dimaksud dengan perjumpaan di sini adalah perjumpaan dua orang atau lebih, maka jika mereka saling berjumpa disyariatkan untuk mengucapkan salam.

Dalam kehidupan kita pada zaman ini khususnya, perjumpaan atau pertemuan ada dua macam, perjumpaan nyata dan perjumpaan tidak nyata seperti via telefon, video call dan sejenisnya. Maka hukum dari kedua hal tersebut adalah sama, yaitu disunnahkan untuk mengucapkan salam.

2. Kepada siapa salam diucapkan?

Adapun salam dari seorang muslim hanyalah diucapkan kepada sesama muslim saja. Orang kafir baik itu dari ahlul kitab ataupun selain mereka maka tidak dibolehkan untuk mengucapkan salam kepada mereka.

3. Apa lafazh salam yang disyariatkan?

Lafazh salam yang datang dalam hadist shohih adalah ‚assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.‛ Maka salam memiliki tiga tingkatan yang disyariatkan dalam Islam. Pertama ‚assalamualaikum, kedua ‚assalamualaikum warahmatullah‛ dan yang ketiga, assalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh.‛ Dan salam yang sempurna hanya cukup sampai di tingkat ke tiga saja dan ini yang tersebar di kalangan para shahabat radhiyallahu anhum. 

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Sholih Al-Ushoimy dari dua pendapat ulama. 

Sebab hadits-hadits yang datang yang menyebutkan penambahan kata dalam salam tidak ada yang shohih.  Maka hendaklah seorang muslim mengucapkan salam dengan lengkap yaitu pada tingkatan yang ketiga. 

Sebab Itulah yang paling sempurna. Karena muslim yang mengucapkan salam dengan sempurna tersebut akan mendapatkan 30 kebaikan sebagaimana yang telah shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Mengucapkan salam hukumnya adalah Sunnah menurut ijma’ para Ulama. Sebagaimana yang dinuqil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya ‚At-Tamhid.‛ MakaSunnah hukumnya bagi siapa saja yang berjumpa dengan sesama muslim untuk mengucapkan salam.

4. Bagaimana cara menjawab salam?

Menjawab salam yang dianjurkan adalah dengan mengucapkan ‚waalaikumussalam warahmatullahi wabarakuatuh.

Sebagaimana pada pengucapan salam ada tiga tingkatan dan yang paling afdhol adalah pada tingkatan ketiga yaitu mengucapkannya sampai ‚wabarakaatuh.‛ Maka begitu pula ketika menjawabnya, juga ada tiga tingkatan yang mana saja boleh, namun yang lebih sempurna adalah yang paling afdhol. Adapun menjawab salam hukumnya adalah WAJIB. 

Hal ini berdasarkan ijma’ ulama sebagaimana yang telah dinuqilkan oleh Ibnu Abdil Barr.

5. Siapa yang wajib menjawab salam?

Menjawab salam hanya wajib bagi orang ataupun kelompok yang dituju saja. Maka jika salam tersebut tertuju kepada satu orang maka hukum menjawabnya adalah fardhu ‘ain artinya orang tersebut wajib menjawabnya sendiri dan tidak boleh diwakilkan oleh orang lain.

Dan apabila salam diucapkan kepada kelompok, maka menjawab salam adalah fardhu kifayah bagi kelompok tersebut. Artinya jika salam tersebut dijawab oleh satu orang saja di antara mereka maka kewajiban menjawab salam telah gugur bagi semuanya.

Maka, jika seseorang mendengarkan salam dari orang Lain dan dia tahu bahwa salam tersebut tidak ditujukan kepadanya dia tidak wajib untuk menjawabnya. 


Wallahua'lam.....Mohon maaf jika terdapat kekeliruan,,,,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan Psikologi Dakwah dengan Ilmu-ilmu Lain

Faizah dan Muchsin Effendi dalam bukunya Psikologi Dakwah (2006 ) mereka menyebutkan beberapa contoh hubungan ilmu psikologi dakwah dengan ilmu-ilmu lain, contohnya : 1.    Hubungan psikologi dakwah dengan psikologi agama Islam adalah agama dakwah, agama menyebar luaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum mempercayainya untuk percaya, menumbuhkan pengetian dan kesadaran agar umat islam mampu menjalani hidup sesuai dengan perintah. Dengan demikian, setiap muslm berkewajiban untuk berdakwah. Dalam melaksanakan tugas dakwah, seorang da’i dihadapkan pada kenyataan bahwa individu-individu yang akan di dakwah memiliki keberagaman dalam berbagai hal seperti fikiran (ide-ide), pengalaman kepribadian dan lain-lain. Dengan kata lain seorang da’i di tuntut menguasai studi Psikologi yang mempelajari tentang kejiwaan manusia sebagai individu maupun anggota masyarakat, baik pada fase perkembangan manusia anak, remaja dewasa dan manula. 2.    Hubungan Psikologi Dakwah Dengan Ilmu Komuni

“HAKEKAT ILMU ITU ADA SETELAH ENGKAU TELAH MENGAMALKANNYA

 Dan ketahuilah bahwasanya sebahagian daripada masalah yang engkau tanyakan kepada aku itu (hakekat ilmu) tidak dapat dijawab dengan tulisan ataupun dengan perkataan.  Tetapi jikalau engkau telah sampai kepada hakekat halnya maka barulah engkau faham (tentang rasa manisnya ilmu), jikalau engaku belum sampai kesana maka engkau belum mengetahuinya, karena masalah-masalah hal tersebut itu adalah masalah “Zauqiyah”, yaitu masalah yang tidak dapat dipahami dengan sebenarnya kecuali setelah dirasai oleh seorang akan hakekatnya (sesuatu).  Maka masalah-masalah yang seperti ini tidak dapat hanya semata disifatkan dengan perkataan tetapi mesti dengan dicoba dan dirasai, seperti manisnya sesutau yang manis dan pahitnya sesuatu yang pahit maka hal yang demikian tidak dapat diketahui kecuali dengan dirasai terlebih dahulu (tidak dapat diungkapkan dengan perkataan ataupun tulisan).

"DAHULUKAN BELAJAR ILMU FARDU AIN"

  Imam Al-Ghazali mengatakan, Hasil apakah yang akan engkau peroleh karena  telah banyak menghabiskan masa hanya belajar ilmu Kalam (ilmu mempelajari tentang segala sifat Allah dan nama nama-Nya), ilmu al-Khalaf (yaitu ilmu yang mempelajari tentang segala masalah hukum fikih yang rumit-rumit), Ilmu kedokteran, ilmu ad-Dawawin wal as-sy’ar (ilmu tentang segala syair arab), ilmu Nujum (ilmu tentang perbintangan ataupun astronomi), ilmu ‘Arudh (ilmu tentang cara menimbangi peletakkan syair arab) dan ilmu Nahwu dan Sharaf (ilmu tentang kaedah-kaedah bahasa arab atau sastra arab) selain daripada engkau mempersia-siakan umur dengan melnaggar perintah Allah yang Maha Besar. Maksud Imam al-Ghazali disini adalah bahwa rugilah orang yang mempelajari ilmu Matematika, biologi, ilmu tata bahasa arab dan lain sebagainya jika seorang penuntut ilmu itu tidak mempelajari lebih dahulu ilmu fardu a’in. Adapaun ilmu fardu A’in itu adalah Ilmu Tauhid, Ilmu Tasauf dan Ilmu Fikih.